Dalam perjalanan menjadi founder startup di Indonesia, banyak pengalaman berharga yang dapat diambil, contohnya pengalaman jatuh bangun dalam mendirikan bisnis, bahkan disaat kehabisan modal. Menceritakan kisahnya secara penuh tidak akan cukup untuk dirangkum dalam sebuah artikel, namun mungkin kalimat mutiara dari yang berpengalaman bisa membuatmu langsung mengetahui tips-tips membangun startup dari orang sukses di bawah ini. Yuk kita simak!
1. Juny “Acong” Maimun – Founder Indowebster
Juny atau yang lebih akrab dipanggil Acong ini sudah menjadi hacker muda dari Riau pada akhir tahun 1990-an, saat ia berkuliah di Stamford College, Malaysia. Ia bisa meretas sistem siapapun, meminjam sumber coding situs web mereka, dan bahkan mengubahnya menjadi “sesuatu yang lebih menyenangkan”. Sayangnya, Acong putus kuliah pada tahun 2002 setelah mengunjungi Jakarta selama akhir semester. Ia lalu membuka warnet hybrid pertama yang beroperasi 24 jam di Jakarta bernama AMPM. Barulah setelahnya, ia mendirikan Indowebster, situs web file hosting multimedia asal Indonesia yang terkenal di dunia.
“Saran terbaik saya: bertahan hidup! Jika Anda terus bertahan untuk beberapa tahun pertama, maka Anda dapat beradaptasi dengan pasar dan menemukan model yang baik untuk Anda.”
2. Andry Suhaili – Founder dan CEO PriceArea
Dari Pulau Bangka, Andry mengejar pendidikan yang lebih baik di Jakarta saat SD. Ber-SMP dan SMA di Singapura, kemudian mengambil gelar sarjana di Los Angeles, Amerika Serikat. Perjalanannya cukup panjang, jatuh bangun selama 10 tahun menjadi entrepreneur, namun ia tetap kembali membangun perusahaan berikutnya hingga terbentuk PriceArea.
“Saya selalu ingin menjadi kaya dan sukses. Untuk itu, saya perlu menjadi seorang entrepreneur. […] Setelah saya kembali dari Amerika Serikat, saya membuat bisnis pertama di sebuah garasi dengan dua pegawai magang sebagai pegawai saya.”
3. Natali Ardianto – Co-Founder dan CTO Tiket.com
Natali mengambil jurusan IT di Universitas Indonesia, di tahun 2008, setahun setelah ia lulus bersama rekan-rekannya mendirikan Urbanesia, salah satu direktori online lifestyle pertama di Jakarta. Namun dua tahun setelah diluncurkan, ia memutuskan untuk meninggalkan Urbanesia dan mendirikan Golfnesia yang kini juga ia tinggalkan karena sulit berkembang. Tahun 2011, Natali Ardianto mendirikan Tiket.com, yang merupakan platform booking online untuk travel, event, dan perhotelan di Indonesia.
“Startup perlu memahami pentingnya pemasaran. Anda mungkin memiliki produk yang benar-benar buruk, tapi tetap saja, jika Anda memiliki tim pemasaran yang baik, Anda bisa sukses.”
4. Achmad Zaky – Co-Founder dan CEO BukaLapak
Awalnya, pria yang lahir di Sragen, Jawa Tengah ini sangat mengidam-idamkan pekerjaan yang baik dengan gaji besar. Tetapi, kuliah di ITB memicu jiwa entrepreneurship-nya dan Achmad Zaky jadi ingin menjalankan bisnis sendiri. Pertama mencoba bisnis mie namun gagal, dan kini menjalankan Bukalapak, salah satu situs web marketplace terbesar di Indonesia.
“Karena jika Anda bertambah tua dan sudah menikah serta memiliki anak, Anda cenderung memiliki lebih banyak pertimbangan dan lebih konservatif. [ … ] Jika saya harus membangun startup saya sekarang dengan modal nol, saya mungkin tidak mau mengambil risiko karena saya memiliki istri dan seorang anak perempuan.”
5. Jason Lamuda – Co-Founder Disdus
Selain Andry Suhaili, Jason Lamuda juga menempuh perkuliahan di Amerika Serikat, dan selama kuliah di sana ia kagum bagaimana teknologi bisa mengubah tatanan hidup masyarakat. Semenjak itulah antusiasme untuk mendirikan perusahaan teknologinya sendiri tumbuh. Tahun 2008, ia menyelesaikan kuliah S2 jurusan teknik finansial di Columbia University. Kemudian ia dihadapkan dengan dua opsi tawaran pekerjaan: di Wall Street, Amerika Serikat, dan McKinsey, Indonesia. Karena merasa peluang entrepreneur di negara asal lebih besar, akhirnya Jason kembali ke Indonesia.
“Selalu ada celah untuk mengincar pasar dan orang yang berbeda bahkan jika Anda membuat produk yang mirip dengan yang sudah ada. Bahkan bisnis seperti menjual kopi juga bisa sukses. Di luar sana pastinya ada kesempatan dan Anda bisa sukses di industri Anda. Tingkat kesuksesan Anda mungkin tidak akan sebesar website e-commerce seperti Amazon yang menjual segala hal, tapi Anda masih bisa menghasilkan uang dari bisnis Anda.”
6. Adi Kusma – Founder Biznet
Beda dengan Andry Suhaili dan Jason Lamuda yang berkuliah di Amerika Serikat, Adi Kusuma berada di Amerika untuk bekerja sebagai full-time programmer. Ia juga mengambil kursus tambahan Microsoft dan berkonsultasi dengan para pelaku ISP (Internet Service Provider) di sana untuk mempelajarinya secara detail. Dari hasil konsultasinya, ia bereksperimen dengan “laboratorium ISP” di rumahnya. Ketika ia yakin telah mampu menerapkan teknologi tersebut di Indonesia, ia kembali dan mendirikan Biznet Networks.
“Mendirikan startup seperti menjual nasi goreng. Jika Anda membuka gerai Anda hari ini, sudah pasti akan ada pembeli yang membeli makanan Anda saat itu juga. Jika Anda memiliki produk yang cocok dengan keinginan pasar, maka Anda akan memiliki pembeli.”
7. Danny Wirianto – Co-Founder dan CEO MindTalk
Founder yang satu ini juga menempuh pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Yang unik, jurusannya adalah seni rupa. Ia pernah direkrut menjadi direktur seni di Adobe karena keahliannya dalam Photoshop dan membuat situs web. Selain seni rupa, ia juga bekerja di industri periklanan, dan dari sana ia membangun agen periklanan sendiri bernama SemutApi Colony tahun 2001 di Amerika Serikat. Sekarang ia fokus ke startup barunya, yang diyakini akan menjadi startup yang diperhatikan Asia, yaitu platform minat sosial bernama MindTalk.
“Dalam bisnis kita juga harus berpikir bahwa kita bukan yang terpintar. Walaupun jago dalam segala hal, kita pasti memiliki kelemahan, juga ada kekuatan. Kalau kita menyadari kekuatan dan kelemahan kita, itu jadi modal. Kalau kita lemah dalam satu hal, ya kita cari orang yang bisa menutup kelemahan kita. Saling melengkapi sehingga ada kualitas di situ. Satu lagi,menurut saya orang harus have fun with your life dan selalu ingat keluarga.”